Entah kenapa, pagi ini saya membandingkan hidup dengan masakan acar kuning tenggiri. Hidup itu ada elemen manisnya, tentu saja. Saat-saat manis dalam hidup banyak terpancar dari memori masa kanak-kanak, beranjak remaja mulai menikmati asin manis yang hmm.. sedikit memberi sensasi. Yup… sedikit pengalaman asam akan memberi rasa lebih segar. Beranjak dewasa lagi, mulai berhadapan dengan hal-hal yang pedas, terlalu pedas malah, kadang sampai terasa pahit. Ada juga rasa unik yang tak dapat dikategorikan, rasa gurih daging dan ikan, dan rasa khas seperti rasa pete dan jengkol he..he… (maksa ya… acar tenggiri pakai jengkol?!)
Semua rasa bercampur, berulang, silih berganti nyata dalam hidup, membuat hidup terasa sangat nikmat.
Ya Tuhan Yesus, Engkau pernah bersabda “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.” Bdk-Yoh 6:55, tentu saja bukan tak ada alasan. Makan adalah hal yang sangat penting, hakiki dan primer. Dengan makan, manusia hidup, dan dengan Yesus manusia beroleh hidup abadi, hidup yang sejati.
Menikmati makanan berarti menikmati hidup, dan menikmati hidup dalam kasih Allah adalah kepenuhan sejati.
Aku makan setiap hari, nikmat. Aku menyambut ekaristi setiap Minggu, sangat-sangat nikmat.
Bolehkan aku bersyukur sekali lagi ya Yesusku… Terima kasih atas makanan. Terima kasih atas hidup. Terima kasih atas rohMu yang menghidupkan.