Posts Tagged ‘refleksi’

h1

Hidup dan makan

October 23, 2009

Entah kenapa, pagi ini saya membandingkan hidup dengan masakan acar kuning tenggiri. Hidup itu ada elemen manisnya, tentu saja. Saat-saat manis dalam hidup banyak terpancar dari memori masa kanak-kanak, beranjak remaja mulai menikmati asin manis yang hmm.. sedikit memberi sensasi. Yup… sedikit pengalaman asam akan memberi rasa lebih segar. Beranjak dewasa lagi, mulai berhadapan dengan hal-hal yang pedas, terlalu pedas malah, kadang sampai terasa pahit. Ada juga rasa unik yang tak dapat dikategorikan, rasa gurih daging dan ikan, dan rasa khas seperti rasa pete dan jengkol he..he… (maksa ya… acar tenggiri pakai jengkol?!)
Semua rasa bercampur, berulang, silih berganti nyata dalam hidup, membuat hidup terasa sangat nikmat.
Ya Tuhan Yesus, Engkau pernah bersabda “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.” Bdk-Yoh 6:55, tentu saja bukan tak ada alasan. Makan adalah hal yang sangat penting, hakiki dan primer. Dengan makan, manusia hidup, dan dengan Yesus manusia beroleh hidup abadi, hidup yang sejati.
Menikmati makanan berarti menikmati hidup, dan menikmati hidup dalam kasih Allah adalah kepenuhan sejati.

Aku makan setiap hari, nikmat. Aku menyambut ekaristi setiap Minggu, sangat-sangat nikmat.

Bolehkan aku bersyukur sekali lagi ya Yesusku… Terima kasih atas makanan. Terima kasih atas hidup. Terima kasih atas rohMu yang menghidupkan.

h1

panggilan vs status quo

June 21, 2009

Karena aku katolik, maka aku mengenal kata ini ‘panggilan’. Sudah jelas aku tidak dipanggil Tuhan untuk hidup membiara, aku tidak pernah merasakannya. Namun panggilan hidup untuk berkeluarga itulah yang akhir-akhir ini mendengung-dengung dalam kepalaku.
Pada titik ini, aku menyadari maksud dari hidup berkeluarga, hidup sebagai suami dan istri. Ternyata, kita semua tak hanya dipanggil untuk hidup suci, namun juga dipanggil untuk saling menyucikan.

Dahulu aku berpikir, menjadi suami istri adalah hidup bagi anak-anak yang mereka lahirkan, namun seiring dengan pemahamanku tentang kehidupan, justru, banyak sekali pasangan yang terjebak paradigma ini. Hidup untuk anak-anak. Padahal bukan cuma itu.

Sekarang ini aku sudah cukup bahagia. Single, bekerja, berkarya, teman yang cukup, gaya hidup yang cukup menyenangkan.. Entah apa yang membuat ide ‘berkeluarga’ ini selalu hadir. Padahal, menurut hasil riset observasi pribadi, hidup berkeluarga itu nggak gampang. Boleh dibilang untuk wanita independen seperti aku, ide menjadi istri bisa jadi tindakan ‘cari penyakit’.

Tetapi aku tak bisa menyangkal ‘panggilan’ itu. Yang kira-kira bunyinya seperti ini “Anakku, Aku mencintaimu dan engkau pun harus mencintai.  Dia yang tak sempurna itu membutuhkanmu. Cintailah dia maka engkaupun akan kusempurnakan, kuatkanlah dia, bantulah dia menjadi lebih baik, demi cintaKu kepadamu.”

Biasanya saat misa, maupun waktu larut malam, suara-suara ini seperti menggema memenuhi hati.  Dan aku tahu, ‘dia’ yang disebutkan itu bukan saudara-saudaraku, bukan teman-temanku. Tetapi dia adalah teman hidupku, suamiku.

Siapkah aku? Bersediakah aku memenuhi panggilan itu?

Hari ini Minggu, 21 Juni 2009… aku jawab “Ya! Tuhanku, aku siap sedia”