Rabu, 29 September 2010
Pagi itu seperti biasa aku berjalan-jalan pagi dengan Thoven, anjing kesayanganku di seputaran Tanjung Duren. Namun di tengah-tengah jalan, tiba-tiba aku merasakan sakit yang tajam di perut bagian bawah, sangat menyakitkan sehingga aku tak sanggup melangkahkan kaki lagi. Putar otak, saya meminta tukang ojek terdekat untuk mengantar aku pulang, tukang ojek itu menolak, karena tak berani mengangkut seekor anjing. Aku pun melirik bajaj, dan sejurus kemudian, sebentuk bajaj melintas di depanku, dan kali ini, aku beruntung.
Sampai di rumah, sakitnya tidak hilang, mereda pun tidak. Hari itu otomatis aku tak bisa melakukan aktifitas rutin, hanya duduk, minum dan meringis kesakitan. Yang ada dalam pikiranku adalah usus yang terlilit, atau infeksi, atau cedera dalam, karena terus terang sebulan terakhir ini aku berolahraga cukup heboh, yakni latihan cardio, dilanjutkan latihan beban, serta stair climbing, rutin, setiap hari, pagi dan sore. Rekan saya Vivi menyarankan untuk memeriksakan diri ke dokter langganannya Dr.Bambang Handana, namun prakteknya malam hari. Saat itu, saya berpikir, ahh.. ya sudahlah.. malam ya malam, aku toh masih bisa bertahan.
Hingga sore, sakitnya tak mereda. Obat pereda sakit pun tidak mempan. Heran, dari mana aku bisa dapatkan sakit yang macam begini? Kuingat-ingat kesalahan apa yang telah kulakukan, selain overdosis latihan olahraga, makanan jorok? Keracunan makanan? Ah, sepertinya bukan.
Dr. Bambang Handana sebagai seorang professional dengan mudah mengenali level kesakitanku dari cara jalan yang sudah terbungkuk-bungkuk, padahal saat itu di sela-sela meringis saya masih sempat tertawa bercanda. Dari pemeriksaan luar, Dr. Bambang segera menyarankan tindakan pemasangan kateter, karena kandung kemihku yang penuh dan oops… memang tak kuingat lagi, sudah buang air kecilkah aku seharian ini?!
Meluncurlah kami ke RS. Medistra untuk tindakan pemasangan kateter. Kulihat dokter jaga di UGD RS.Medistra mengernyit melihat perutku yang makin menggembung saja malam itu. Kateter pun siap dipasang, saat melihat suster memegang selang dan mengambil ancang-ancang, dalam hati aku berdoa singkat, semoga tidak salah lubang..hehe..
Kateter telah dilepas kembali. Sedikit merasa lega, namun rasa ngilu di perut bagian bawah tak kunjung pergi. Heran, kok bisa-bisanya sakit seperti ini betah nangkring dari pagi hingga larut malam seperti ini.
…
Kamis, 30 September 2010
Malam bergulir menjadi dini hari, irama siksa yang sedari kemarin pagi sudah menggelar konser di perutku, tetap saja meneruskan pagelarannya. Aku sama sekali tak bisa tidur.
USG yang telah dijadwalkan jam 5 sore hari itu, rasanya tak mungkin kujalani. Sekarang juga aku ingin di USG, karena sudah tak tahan didera nyeri 1×24 jam. Akhirnya dr. Bambang berbaik hati menyempatkan waktu untukku pagi itu. Dan itulah kali pertama aku merasakan dinginnya gel USG. Kuingat dokter USG saat itu berkata: “Seperti ada massa besar, seperti kista pada ovarium kanan Dok, ukurannya cukup besar, paling tidak diameter 15cm.” Kalimat-kalimat yang lain serasa tak lagi jelas kudenger, seperti mantra-mantra yang dirapal dengan bahasa-bahasa yang tak sepenuhnya kumengerti. Satu hal yang sangat kumengerti artinya adalah saat dr.Bambang berkata, “OK dirawat ya, dan harus dioperasi, indung telur kamu yang kanan harus diangkat. Saya akan rekomendasikan dokter bedah yang baik untuk kamu.”
Siang itu kurang lebih pukul 2 siang, resmilah aku check in di RS Medistra. Hal yang terberat bagiku adalah “meninggalkan Thoven”. Tapi dalam hal ini pun, aku bersyukur, rekan-rekan kerjaku, bersedia memelihara Thoven selama maminya tidak di rumah.
Sesaat setelah aku merangkak naik ranjang rumah sakit, maka serangkaian test dilakukan oleh suster-suster yang ramah dan cekatan. Senyum manis dan tutur bahasa yang lemah lembut seakan menjadi kamuflase yang baik bagi tujuan kedatangan mereka ke ranjangku yang sebenarnya : menyuntikkan jarum-jarum, mengambil darah, mengaliri badanku dengan listrik ringan, memompa lenganku, menusukkan thermometer ke ketiak ku, menusuk daun telingaku dan mencatat berapa lama darahku membeku, dan pas foto thorax.
Sore itu juga, akhirnya aku bertemu dengan dokter yang telah direkomendasikan untuk menanganiku, Dr. Budiman Japar SpOG. Wah, seperti orang hamil saja, kataku dalam hati. Untuk kedua kalinya aku di-USG, kali ini layar komputernya jelas dan dengan mataku sendiri aku melihat benda itu. Benda yang membentuk bayangan hitam besar di layar komputer. Besar!
Kali ini dokter memberi vonis setidaknya diameter 17cm. Mungkin karena sudah dengar hasil USG tadi pagi, kali ini aku pun hanya nyengir kuda saja mendengar hasil penerawangan yang terbaru. Penjelasan Dokter Budiman sama sekali tidak membuatku panik. I liked him, and I knew I was in good hands.
Dengan mantap aku mengiyakan sarannya untuk dioperasi keesokan harinya pukul 12.30 dan harus berpuasa 8 jam sebelumnya. Prosedurnya seperti operasi caesar, bedanya, bukan bayi yang dikeluarkan dari perutku, namun kista.
Kutelpon kakak saya yang sedang berada di Kroya untuk secepatnya bertemu : “Aku butuh tanda-tanganmu untuk operasi.” Dan malam itu, setelah sekian lama, aku bisa tertidur sejenak. Wah, bisa jadi suntikan yang menyakitkan tadi siang efeknya mengenakkan malam ini hehe.
Jumat, 1 Oktober 2010
Tak makan dan tak minum selama 8 jam bukanlah hal yang terlalu menyiksa bagi seseorang yang telah meringis kesakitan selama 2x24jam.
Pagi itu Dr. Budiman menemuiku, dia menjelaskan dimana tepatnya akan membuat sayatan di perutku. Wow, sedikit menakutkan, sekaligus bersensasi seru menegangkan. Dia akan memotong cukup lebar kurang lebih 15-20cm secara horisontal, dan jika nanti kista itu tak bisa dikeluarkan, terpaksa beliau menyayat lagi dengan garis vertical. Wadouh! Membayangkan ujung pisau tajam di perutku hehe… But I trusted him, he’s very positive and sounds pretty optimistic. I knew he’s a good doctor.
Jam untuk operasi pun tibalah. Yang mengantarkanku ke ruang operasi, semuanya mencoba tersenyum menghiburku, aku pun tentunya membalas dengan senyuman. Sejujurnya ada sedikit sensasi excitement saat digeledek dan dipindah-tangankan kepada orang-orang yang semuanya bermasker dan berseragam hijau tua. Mereka menanganiku tanpa banyak bicara, dan setelah menunggu sebentar, aku pun dibawa ke ruangan yang besar dengan 2 lampu sorot besar diatas badanku.
Seseorang mendekatiku dan mencopot maskernya, dia menjelaskan bahwa dialah yang sebentar lagi akan menyuntikkan bius epidural di sela-sela tulang belakangku. Apa? Kenapa aku baru tahu detailnya sekarang hehehe… Sisi baiknya, aku pun tak sempat berpikir bagaimana rasanya disuntik diantara tulang belakang, karena sejurus kemudian dia telah kembali memasang maskernya dan menandai punggungku.
“Siap, Ibu?” Akupun membungkuk dan menyerahkan punggungku untuk disuntik. Sekian detik setelah rasa yang sama sekali tidak enak itu, aku merasa ujung kakiku menghangat dan kemudian mejalar hingga ke perut. Dengan cepat mereka bekerja dengan tubuhku. “Wah, Dokter! kakiku rasanya nyaman sekali dan sakit perutku hilang!” seruku riang.
Mungkin saja dokter anestesi bingung, apakah biusnya juga bekerja di otakku?! Hehe… sejurus kemudian lampu sorot pun dinyalakan… kudengar langkah-langkah riang mendekat, “OK, mana artis kita ini? Hallo Anastasia, saya Budiman, sudah siap dioperasi?”
“Siap!” kataku tak kalah riangnya. Dr. Budiman menyalamiku dan dengan mantap aku menyambut uluran tangannya. Dokter anestesi yang ada di sebelah kiriku memeriksa kelopak mataku, mungkin sedikit bingung.. Mengapa pasien ini terdengar begitu riang untuk memulai operasi?!
Mereka menutupi pandanganku dengan gorden kecil namun dari reflector lampu sorot, kulihat bayangan badanku bagian atas yang dikerubuti orang-orang berbaju hijau tua. “1 miligram, atau 2 mili Dok?” Terdengar suara di samping kiriku. Hmm.. mereka akan membiusku, kataku dalam hati. “Dok, saya mau dibius ya?” tanyaku. “Iya Bu, biar Ibu tidur aja ya Bu… biar santai…” OK, sip… begitu jawabku… Kulihat mereka menyuntikkan sesuatu di infusku dan sejurus kemudian, mulailah aku merasa sangat hangat dan nyaman. Wah, aku sudah mulai teler. Satu kalimat pendek kuucapkan sebelum jatuh tertidur.. “Tuhan Yesus, aku mencintaiMu.”
…
Antara sadar atau tidak, aku mendengar “Ayo, ayo.. siapa yang mau foto?” Aku mencoba mencerna, mengapa ada yang mau foto di ruang operasi? Tapi ahh… aku terlalu mengantuk untuk menanyakannya lebih lanjut. Aku bisa merasakan banyak tangan ada di atas perut dan dadaku, mereka seperti sedang mengelap dan mencopoti tempelan-tempelan yang banyak disekitar paru dan jantungku.
“Ibu, operasinya sudah selesai, sudah selesai dengan baik” suara suster itu teredam dibalik maskernya.
Mereka segera membungkusku dengan selimut penghangat dan menggeledekku keluar setelah semua alat-alat pemindai jantung dan tekanan darah lepas dari badanku dan tinggal selang infus dan oksigen murni di hidungku. Tunggu, ini oksigen murni? Atau sedikit bercampur dengan gas tawa, hehe… aku merasa sangat riang dan beberapa kali mengatakan sesuatu, tapi sampai sekarang aku tak ingat persis apa… mudah-mudahan bukan sesuatu yang memalukan ya.. hehe.. efek obat bius memang dahsyat.
Dalam ruang pemulihan, aku pun merasa nyaman, seperti mimpi rasanya… benarkah aku sudah selesai menjalani operasi? Syukur kepadaMu Tuhan! Kembali sepertinya aku lelap tertidur, kemudian terbangun, dan sejurus kemudian tertidur lagi. Badanku hangat dan tak terasa sakit lagi di perutku. Ah, bisa jadi karena separo badanku masih pingsan, ditambah lagi hawa O2 murni dingin-dingin empuk di hidungku ini, sungguh sangat nikmat.
“Ibu, apakah ibu ingin melihat kista Ibu yang sudah dikeluarkan?” tanya seorang suster bermasker membangunkanku.
“Ha?” tanyaku setengah teler.
“Sudah diperlihatkan ke keluarga dan kerabat Ibu di luar kok, ini kita kasih lihat Ibu sekarang, soalnya setelah masuk Patologi, Ibu sudah tidak bisa lihat-lihat lagi. Gimana Bu, Ibu mau lihat?”
“Mau”
Suster berbadan kecil itu kemudian mengangkat kantong plastik besar dengan kedua tangannya. Dan kulihat di dalamnya seperti ada cairan merah muda dan segumpal benda sebesar kepala bayi meruap diantara cairan warna merah itu. Ah, rupaya kamu itu ya, biang keroknya! “Wow, besar sekali!” komentarku sambil tersenyum.
“Ibu, ini kita akan bawa ke Patologi, Ibu sudah tak bisa lihat ini lagi. Tapi kerabat ibu tadi sudah foto-foto kok.” Aku pun melambaikan tangan pada kantong plastik itu. Good bye, selamat jalan kamu ya… ke Patologi.
Setelah kurang lebih 2 jam aku di ruang pemulihan, aku pun diserahkan kepada suster rawat. Mereka berdua menyambutkan dengan senyum sumringah. “Halo Ibu.. gimana keadaannya?” dan kujawab “Baik Sus”
Beberapa menit kemudian aku menghirup hawa khas selasar rumah sakit dimana yang menungguiku operasi menyambutku dengan wajah-wajah ceria. Aku pun tak kalah gembiranya. Mungkin malah sedikit terlalu gembira, tak heran Vivi mengingatkanku untuk tak banyak bicara dulu kalau masih dibawah pengaruh obat bius, kalau tak ingin seluruh rahasiaku terkuak. Hey, sebegitu burukkah apa yang kukatakan?! He..he…
…
Setelah kembali menghuni kamar rawat inap yang kutempati bersama 4 orang yang lainnya, aku kembali tertidur. Harus bedrest selama 1X24 jam. Kakakku dengan setia menemaniku, dan sesaat setelah menemukan hotspot wifi di dalam Rumah Sakit, dia menjadi lebih tenang dan fokus hehe.. tentu saja dengan laptopnya.
Dan aku, aku harus bisa kentut dulu, baru aku akan diberi makan dan minum. Menunggu adalah hal yang sangat membosankan, apalagi yang ditunggu adalah kentut.
Sabtu, 2 Oktober 2010
Antara tidur dan sadar, aku melihat suster-suster dengan telaten merawatku. Cek temperatur, cek tekanan darah, cek kateter, suntik antibiotik, suntik vitamin, ganti botol infus dll. Hingga matahari sepertinya sudah agak tinggi, datanglah Dr. Bambang memeriksaku, aku ditanya apakah aku sudah kentut. Dan ternyata aku belum jua mengaku berhasil kentut. Namun kabar baiknya, beliau berbaik hati mempercayakan aku untuk bisa makan. Hore!
Setelah kateter dicopot, aku pun diperintahkan dokter untuk belajar duduk dan berjalan dalam waktu 4 jam! Ya ampun, tidak bolehkah aku bermalas-malasan dulu? Hehe…
Oh, by the way, kentutnya datang bersamaan saat aku melumat makanan untuk pertama kalinya setelah operasi, wow… kentut yang malas.
Dan mulailah rasa nyeri yang lain menghinggapiku. Raya nyeri luka operasi.
Duduk begitu susah, apalagi berdiri dan berjalan. Kakiku seperti bayi saja yang agak sulit digerakkan secara sistematis. Wah, seperti bayi yang baru pertama kali belajar duduk dan jalan saja, sangat terbatas, apalagi selang-selang infusku sangat mengganggu gerakanku. Tapi, jujur aku katakan, sakit kali ini adalah penghiburan! Ya, inilah hiburan bagiku, karena sakit yang sekarang ini adalah jalan menuju kesembuhan!
…
Minggu, 3 Oktober 2010
Entah berapa kali aku latihan ‘berat’ duduk dan berjalan ke kamar mandi sendiri, yang jelas, kaki-kaki ku pun telah mantap menopang badanku. Infusku pun akhirnya dilepas juga, setelah aku merengek-rengek dan memberikan bukti bengkaknya lengan kiriku. Pesan dari dokter adalah, jika infus dicopot, maka makanan dan minuman harus dihabiskan. Hehehe.. itu soal kecil, Dok! Serahkan saja pada ahlinya!
Setelah beberapa kali aku menandaskan makanan RS yang konon katanya tidak enak itu, kekuatanku pulih.
Senang hatiku pula saat Dokter Budiman mengunjungiku beliau mengatakan operasinya berjalan baik dan tidak ditemukan penyimpangan di indung telurku yang satunya. Puji Tuhan!.
Saat memeriksa luka operasiku, ternyata tidak menampakkan rembesan darah yang mengkuatirkan, bahkan sudah mulai mengering.
Keesokan harinya aku diijinkan pulang oleh dokter.
Seminggu kemudian…
Perban plastik steril itu dilepas dan dari kaca kecil yang kupegang, tampak olehku garis hitam tipis, sejengkal panjangnya melintang mengikuti lekuk perut bagian bawah. Wah, tanda luka yang cantik!
Dokter Budiman pun berseloroh bahwa luka ini tak akan tampak walaupun aku nanti berbikini. Wow, sekarang malah jadi kepikiran mau pakai bikini hehehe…
….
Seperti mimpi rasanya, dari mulai meringis kesakitan, terus diperiksa, terus opname, terus bermacam-macam test, terus puasa, terus dibius, terus operasi, terus bedrest, terus sadar dan harus belajar jalan kembali…semua terjadi hanya dalam 6 hari (mengalahkan rekor Pond’s lebih putih dalam 7 hari hehe).
Walaupun serasa mimpi, namun apa yang kujalani adalah nyata. Kenyataan yang menjadi wake-up call, untuk lebih serius memperhatikan kesehatan diri sendiri dan sadar akan apa yang kita lakukan terhadap tubuh kita. Niat dan tekad untuk hidup lebih sehat seimbang pun diikrarkan dalam hati dan berusaha diterapkan dalam hidup keseharian.
Rasa syukur yang aku daraskan sepertinya tak cukup setimpal atas semua berkat dan kebaikan Tuhan yang tercermin dari pertolongan dan bantuan dari dokter, perawat, petugas RS, saudara-saudaraku, teman-temanku, rekan sejawatku dan semua orang yang telah menyemangati dan menghibur aku selama sakit hingga bisa melewati semuanya. May God bless you all… XOXO
Ya Yesus, aku sungguh merasa beruntung!
Penghargaan dan ucapan terima kasihku untuk:
- Dr. Bambang Handana
- Dr. Budiman Japar SpOG
- Dokter jantung, dokter paru, dokter anestesi, dokter USG, dokter UGD, dokter jaga, tim medical check-up dan laboratorium serta seluruh tim operasi.
- Suster-suster Rawat Inap lt.3, dan petugas administrasi RS Medistra yang selalu ramah dan helpful.
Special hugs, kisses and thanks untuk :
David Ho, Vivi dan kakakku Aries yang setia mengantar, menemani dan menjengukku selama sakit.
Special thanks untuk :
Devi Listandary – agen asuransi Manulife yang sangat helpful sehingga dari sisi biaya aku sangat terbantukan oleh benefit asuransi.
Terima kasih atas bantuan tulus :
- Mbak Ani, office assistant Yluva yang dengan telaten memasak iga rebus dan memberikannya kepada Thoven selama aku di RS, serta membersihkan kamarku.
- Sheila, Davy, Nadia, Arlette dan Etha, rekan-rekan sejawatku di Yluva, terima kasih atas dedikasi dan kerjasama kalian yang solid di kantor.
Special thanks untuk:
Semua teman-temanku yang memberiku semangat, penghiburan dan doa, baik melalui Facebook, Twitter, BBM, YM, email serta kunjugan teman-teman yang sangat aku hargai.
Special thanks to JS for his surprise IDD call, I felt much much better after your magic phone call, hehe…
Dan kepada semuanya yang nama-namanya belum kusebut, namun begitu tulus telah berdoa bagi kesembuhanku. Terima kasih.