h1

Menjadi Seperti Sungai

January 11, 2011

Melihat catatan jurnalku pagi ini, aku jadi ingin berbagi kepada dunia, tentang pengertian yang aku terima dari Tuhan di awal bulan Desember 2010. Pengertian bahwa Tuhan ingin aku MENJADI SEPERTI SUNGAI.

Sungai yang memberi kesegaran

Saya memiliki masalah dengan ego saya yang kadang sangat mendominasi. Well, who doesn’t? 😀 Saya sering bersikap egois, sikap egois ini menjuruskan perasaan saya menjadi terancam, tidak aman, seperti hendak mengalami kerugian besar, saya jadi tidak tenang.

Saya sudah bercerita sebelumnya di sini, saya sudah berjanji waktu itu untuk menghormati hubungan ini sebagai pertemanan. Namun kenyataannya, saya juga jadi menuntut deklarasi status yang lebih istimewa dari sekedar pertemanan.  Terlebih setelah makin tahu bahwa dia adalah seorang yang populer, seorang yang begitu mudah mendapatkan perhatian wanita. *Sigh*

Malam itu saya terus saja memikirkan betapa merananya hati saya, jika suatu saat saya mendapati kenyataan bahwa dia lebih memilih mencintai yang lebih muda, lebih cantik, lebih hot dari saya. Saya tertidur dalam kegalauan hati.

Dan keesokan harinya, anehnya, Puji Tuhan! 😀 saya merasakan kelegaan. Bukan karena saya menjadi lebih muda, lebih cantik atau lebih sexy hehe.. tapi karena saya telah mendapatkan damai dan pengertian. Inilah yang saya tulis dalam buku jurnal doa saya tertanggal 8 Desember 2010 :

“Hari ini saya diingatkan akan janji saya pada Tuhan : Aku akan mencintai dengan caraMu.

Mencintai dengan caraku sendiri pasti tidak berhasil, karena pada dasarnya dia adalah seorang chick magnet. Ah, aku pun juga jauh dari sempurna.

Mencintai dengan caraMu itu sangat sederhana, tapi susah loh Tuhan untuk kontinyu dilakukan (karena konflik dengan ego manusiaku). Mencintai dengan caraMu begitu terang, seperti Matahari. Seperti angin, dia selalu bergerak (memberi hawa baru).

Aku bersyukur Tuhan, aku boleh menyelami cintaMu. Dan aku ingin bersyukur sekali lagi, karena kesempatan yang Engkau berikan untuk mencintainya. Mencintai dengan caraMu, tak pernah berlebihan. Namun juga tak akan pernah kekurangan. Mencintai dengan caraMu adalah menyerahkan diriku menjadi saluran rahmat dan kasih, dariMu untuknya.

Akulah saluran, seperti sungai mengalirkan air ke samudera. Sungai itu pun tak pernah menahan-nahan air untuk tak dialirkan namun memberi hidup dan kesegaran sepanjang batang tubuhnya. Sungai itu, hidup dan tetap hidup selama ia setia untuk mengalir dan memberi.”

Demikian sharing saya, semoga dapat membantu bagi siapa saja yang sedang berjuang mencari cinta sejati 😉

Semoga rahmat kasih Tuhan Allah selalu mengalir dalam hati Saudara sekalian. Amin.

h1

Seperti mimpi sekaligus sebuah wake-up call

October 15, 2010

Rabu, 29 September 2010

Pagi itu seperti biasa aku berjalan-jalan pagi dengan Thoven, anjing kesayanganku di seputaran Tanjung Duren. Namun di tengah-tengah jalan, tiba-tiba aku merasakan sakit yang tajam di perut bagian bawah, sangat menyakitkan sehingga aku tak sanggup melangkahkan kaki lagi. Putar otak, saya meminta tukang ojek terdekat untuk mengantar aku pulang, tukang ojek itu menolak, karena tak berani mengangkut seekor anjing. Aku pun melirik bajaj, dan sejurus kemudian, sebentuk bajaj melintas di depanku, dan kali ini, aku beruntung.

Sampai di rumah, sakitnya tidak hilang, mereda pun tidak. Hari itu otomatis aku tak bisa melakukan aktifitas rutin, hanya duduk, minum dan meringis kesakitan. Yang ada dalam pikiranku adalah usus yang terlilit, atau infeksi, atau cedera dalam, karena terus terang sebulan terakhir ini aku berolahraga cukup heboh, yakni latihan cardio, dilanjutkan latihan beban, serta stair climbing, rutin, setiap hari, pagi dan sore. Rekan saya Vivi menyarankan untuk memeriksakan diri ke dokter langganannya Dr.Bambang Handana, namun prakteknya malam hari. Saat itu, saya berpikir, ahh.. ya sudahlah.. malam ya malam, aku toh masih bisa bertahan.

Hingga sore, sakitnya tak mereda. Obat pereda sakit pun tidak mempan. Heran, dari mana aku bisa dapatkan sakit yang macam begini? Kuingat-ingat kesalahan apa yang telah kulakukan, selain overdosis latihan olahraga, makanan jorok? Keracunan makanan? Ah, sepertinya bukan.

Dr. Bambang Handana sebagai seorang professional dengan mudah mengenali level kesakitanku dari cara jalan yang sudah terbungkuk-bungkuk, padahal saat itu di sela-sela meringis saya masih sempat tertawa bercanda. Dari pemeriksaan luar, Dr. Bambang segera menyarankan tindakan pemasangan kateter, karena kandung kemihku yang penuh dan oops… memang tak kuingat lagi, sudah buang air kecilkah aku seharian ini?!

Meluncurlah kami ke RS. Medistra untuk tindakan pemasangan kateter. Kulihat dokter jaga di UGD RS.Medistra mengernyit melihat perutku yang makin menggembung saja malam itu. Kateter pun siap dipasang, saat melihat suster memegang selang dan mengambil ancang-ancang, dalam hati aku berdoa singkat, semoga tidak salah lubang..hehe..

Kateter telah dilepas kembali. Sedikit merasa lega, namun rasa ngilu di perut bagian bawah tak kunjung pergi. Heran, kok bisa-bisanya sakit seperti ini betah nangkring dari pagi hingga larut malam seperti ini.

Kamis, 30 September 2010

Malam bergulir menjadi dini hari, irama siksa yang sedari kemarin pagi sudah menggelar konser di perutku, tetap saja meneruskan pagelarannya. Aku sama sekali tak bisa tidur.

USG yang telah dijadwalkan jam 5 sore hari itu, rasanya tak mungkin kujalani. Sekarang juga aku ingin di USG, karena sudah tak tahan didera nyeri 1×24 jam. Akhirnya dr. Bambang berbaik hati menyempatkan waktu untukku pagi itu.  Dan itulah kali pertama aku merasakan dinginnya gel USG. Kuingat dokter USG saat itu berkata: “Seperti ada massa besar, seperti kista pada ovarium kanan Dok, ukurannya cukup besar, paling tidak diameter 15cm.” Kalimat-kalimat yang lain serasa tak lagi jelas kudenger, seperti mantra-mantra yang dirapal dengan bahasa-bahasa yang tak sepenuhnya kumengerti. Satu hal yang sangat kumengerti artinya adalah saat dr.Bambang berkata, “OK dirawat ya, dan harus dioperasi, indung telur kamu yang kanan harus diangkat. Saya akan rekomendasikan dokter bedah yang baik untuk kamu.”

Siang itu kurang lebih pukul 2 siang, resmilah aku check in di RS Medistra. Hal yang terberat bagiku adalah “meninggalkan Thoven”. Tapi dalam hal ini pun, aku bersyukur, rekan-rekan kerjaku, bersedia memelihara Thoven selama  maminya tidak di rumah.

Sesaat setelah aku merangkak naik ranjang rumah sakit, maka serangkaian test dilakukan oleh suster-suster yang ramah dan cekatan. Senyum manis dan tutur bahasa yang lemah lembut seakan menjadi kamuflase yang baik bagi tujuan kedatangan mereka ke ranjangku yang sebenarnya : menyuntikkan jarum-jarum, mengambil darah, mengaliri badanku dengan listrik ringan, memompa lenganku, menusukkan thermometer ke ketiak ku, menusuk daun telingaku dan mencatat berapa lama darahku membeku, dan pas foto thorax.

Sore itu juga, akhirnya aku bertemu dengan dokter yang telah direkomendasikan untuk menanganiku, Dr. Budiman Japar SpOG. Wah, seperti orang hamil saja, kataku dalam hati. Untuk kedua kalinya aku di-USG, kali ini layar komputernya jelas dan dengan mataku sendiri aku melihat benda itu. Benda yang membentuk bayangan hitam besar di layar komputer. Besar!

Kali ini dokter memberi vonis setidaknya diameter 17cm. Mungkin karena sudah dengar hasil USG tadi pagi, kali ini aku pun hanya nyengir kuda saja mendengar hasil penerawangan yang terbaru. Penjelasan Dokter Budiman sama sekali tidak membuatku  panik. I liked him, and I knew I was in good hands.

Dengan mantap aku mengiyakan sarannya untuk dioperasi keesokan harinya pukul 12.30 dan harus berpuasa 8 jam sebelumnya. Prosedurnya seperti operasi caesar, bedanya, bukan bayi yang dikeluarkan dari perutku, namun kista.

Kutelpon kakak saya yang sedang berada di Kroya untuk secepatnya bertemu : “Aku butuh tanda-tanganmu untuk operasi.” Dan malam itu, setelah sekian lama, aku bisa tertidur sejenak. Wah, bisa jadi suntikan yang menyakitkan tadi siang efeknya mengenakkan malam ini hehe.

Jumat, 1 Oktober 2010

Tak makan dan tak minum selama 8 jam bukanlah hal yang terlalu menyiksa bagi seseorang yang telah meringis kesakitan selama 2x24jam.

Pagi itu Dr. Budiman menemuiku, dia menjelaskan dimana tepatnya akan membuat sayatan di perutku. Wow, sedikit menakutkan, sekaligus bersensasi seru menegangkan. Dia akan memotong cukup lebar kurang lebih 15-20cm secara horisontal, dan jika nanti kista itu tak bisa dikeluarkan, terpaksa beliau menyayat lagi dengan garis vertical. Wadouh! Membayangkan ujung pisau tajam di perutku hehe… But I trusted him, he’s very positive and sounds pretty optimistic. I knew he’s a good doctor.

Jam untuk operasi pun tibalah. Yang mengantarkanku ke ruang operasi, semuanya mencoba tersenyum menghiburku, aku pun tentunya membalas dengan senyuman. Sejujurnya ada sedikit sensasi excitement saat digeledek dan dipindah-tangankan kepada orang-orang yang semuanya bermasker dan berseragam hijau tua. Mereka menanganiku tanpa banyak bicara, dan setelah menunggu sebentar, aku pun dibawa ke ruangan yang besar dengan 2 lampu sorot besar diatas badanku.

Seseorang mendekatiku dan mencopot maskernya, dia menjelaskan bahwa dialah yang sebentar lagi akan menyuntikkan bius epidural di sela-sela tulang belakangku. Apa? Kenapa aku baru tahu detailnya sekarang hehehe… Sisi baiknya, aku pun tak sempat berpikir bagaimana rasanya disuntik diantara tulang belakang, karena sejurus kemudian dia telah kembali memasang maskernya dan menandai punggungku.

“Siap, Ibu?” Akupun membungkuk dan menyerahkan punggungku untuk disuntik. Sekian detik setelah rasa yang sama sekali tidak enak itu, aku merasa ujung kakiku menghangat dan kemudian mejalar hingga ke perut. Dengan cepat mereka bekerja dengan tubuhku. “Wah, Dokter! kakiku rasanya nyaman sekali dan sakit perutku hilang!” seruku riang.

Mungkin saja dokter anestesi bingung, apakah biusnya juga bekerja di otakku?! Hehe… sejurus kemudian lampu sorot pun dinyalakan… kudengar langkah-langkah riang mendekat, “OK, mana artis kita ini? Hallo Anastasia, saya Budiman, sudah siap dioperasi?”

“Siap!” kataku tak kalah riangnya. Dr. Budiman menyalamiku dan dengan mantap aku menyambut uluran tangannya. Dokter anestesi yang ada di sebelah kiriku memeriksa kelopak mataku, mungkin sedikit bingung.. Mengapa pasien ini terdengar begitu riang untuk memulai operasi?!

Mereka menutupi pandanganku dengan gorden kecil namun dari reflector lampu sorot, kulihat bayangan badanku bagian atas yang dikerubuti orang-orang berbaju hijau tua. “1 miligram, atau 2 mili Dok?” Terdengar suara di samping kiriku. Hmm.. mereka akan membiusku, kataku dalam hati. “Dok, saya mau dibius ya?” tanyaku. “Iya Bu, biar Ibu tidur aja ya Bu… biar santai…” OK, sip… begitu jawabku… Kulihat mereka menyuntikkan sesuatu di infusku dan sejurus kemudian, mulailah aku merasa sangat hangat dan nyaman. Wah, aku sudah mulai teler. Satu kalimat pendek kuucapkan sebelum jatuh tertidur.. “Tuhan Yesus, aku mencintaiMu.”

Antara sadar atau tidak, aku mendengar “Ayo, ayo.. siapa yang mau foto?” Aku mencoba mencerna, mengapa ada yang mau foto di ruang operasi? Tapi ahh… aku terlalu mengantuk untuk menanyakannya lebih lanjut. Aku bisa merasakan banyak tangan ada di atas perut dan dadaku, mereka seperti sedang mengelap dan mencopoti tempelan-tempelan yang banyak disekitar paru dan jantungku.

“Ibu, operasinya sudah selesai, sudah selesai dengan baik” suara suster itu teredam dibalik maskernya.

Mereka segera membungkusku dengan selimut penghangat dan menggeledekku keluar setelah semua alat-alat pemindai jantung dan tekanan darah lepas dari badanku dan tinggal selang infus dan oksigen murni di hidungku. Tunggu, ini oksigen murni? Atau sedikit bercampur dengan gas tawa, hehe… aku merasa sangat riang dan beberapa kali mengatakan sesuatu, tapi sampai sekarang aku tak ingat persis apa… mudah-mudahan bukan sesuatu yang memalukan ya.. hehe.. efek obat bius memang dahsyat.

Dalam ruang pemulihan, aku pun merasa nyaman, seperti mimpi rasanya… benarkah aku sudah selesai menjalani operasi? Syukur kepadaMu Tuhan! Kembali sepertinya aku lelap tertidur, kemudian terbangun, dan sejurus kemudian tertidur lagi. Badanku hangat dan tak terasa sakit lagi di perutku. Ah, bisa jadi karena separo badanku masih pingsan, ditambah lagi hawa O2 murni dingin-dingin empuk di hidungku ini, sungguh sangat nikmat.

“Ibu, apakah ibu ingin melihat kista Ibu yang sudah dikeluarkan?” tanya seorang suster bermasker membangunkanku.

“Ha?” tanyaku setengah teler.

“Sudah diperlihatkan ke keluarga dan kerabat Ibu di luar kok, ini kita kasih lihat Ibu sekarang, soalnya setelah masuk Patologi, Ibu sudah tidak bisa lihat-lihat lagi. Gimana Bu, Ibu mau lihat?”

“Mau”

Suster berbadan kecil itu kemudian mengangkat kantong plastik besar dengan kedua tangannya. Dan kulihat di dalamnya seperti ada cairan merah muda dan segumpal benda sebesar kepala bayi meruap diantara cairan warna merah itu. Ah, rupaya kamu itu ya, biang keroknya! “Wow, besar sekali!” komentarku sambil tersenyum.

“Ibu, ini kita akan bawa ke Patologi, Ibu sudah tak bisa lihat ini lagi. Tapi kerabat ibu tadi sudah foto-foto kok.” Aku pun melambaikan tangan pada kantong plastik itu. Good bye, selamat jalan kamu ya… ke Patologi.

Setelah kurang lebih 2 jam aku di ruang pemulihan, aku pun diserahkan kepada suster rawat. Mereka berdua menyambutkan dengan senyum sumringah. “Halo Ibu.. gimana keadaannya?” dan kujawab “Baik Sus”

Beberapa menit kemudian aku menghirup hawa khas selasar rumah sakit dimana yang menungguiku operasi menyambutku dengan wajah-wajah ceria. Aku pun tak kalah gembiranya. Mungkin malah sedikit terlalu gembira, tak heran Vivi mengingatkanku untuk tak banyak bicara dulu kalau masih dibawah pengaruh obat bius, kalau tak ingin seluruh rahasiaku terkuak. Hey, sebegitu burukkah apa yang kukatakan?! He..he…

Setelah kembali menghuni kamar rawat inap yang kutempati bersama 4 orang yang lainnya, aku kembali tertidur. Harus bedrest selama 1X24 jam. Kakakku dengan setia menemaniku, dan sesaat setelah menemukan hotspot wifi di dalam Rumah Sakit, dia menjadi lebih tenang dan fokus hehe.. tentu saja dengan laptopnya.

Dan aku, aku harus bisa kentut dulu, baru aku akan diberi makan dan minum. Menunggu adalah hal yang sangat membosankan, apalagi yang ditunggu adalah kentut.

Sabtu, 2 Oktober 2010

Antara tidur dan sadar, aku melihat suster-suster dengan telaten merawatku. Cek temperatur, cek tekanan darah, cek kateter, suntik antibiotik, suntik vitamin, ganti botol infus dll. Hingga matahari sepertinya sudah agak tinggi, datanglah Dr. Bambang memeriksaku, aku ditanya apakah aku sudah kentut.  Dan ternyata aku belum jua mengaku berhasil kentut. Namun kabar baiknya, beliau berbaik hati mempercayakan aku untuk bisa makan. Hore!

Setelah kateter dicopot, aku pun diperintahkan dokter untuk belajar duduk dan berjalan dalam waktu 4 jam! Ya ampun, tidak bolehkah aku bermalas-malasan dulu? Hehe…

Oh, by the way, kentutnya datang bersamaan saat aku melumat makanan untuk pertama kalinya setelah operasi, wow… kentut yang malas.

Dan mulailah rasa nyeri yang lain menghinggapiku. Raya nyeri luka operasi.

Duduk begitu susah, apalagi berdiri dan berjalan. Kakiku seperti bayi saja yang agak sulit digerakkan secara sistematis. Wah, seperti bayi yang baru pertama kali belajar duduk dan jalan saja, sangat terbatas, apalagi selang-selang infusku sangat mengganggu gerakanku. Tapi, jujur aku katakan, sakit kali ini adalah penghiburan! Ya, inilah hiburan bagiku, karena sakit yang sekarang ini adalah jalan menuju kesembuhan!

Minggu, 3 Oktober 2010

Entah berapa kali aku latihan ‘berat’ duduk dan berjalan ke kamar mandi sendiri, yang jelas, kaki-kaki ku pun telah mantap menopang badanku. Infusku pun akhirnya dilepas juga, setelah aku merengek-rengek dan memberikan bukti bengkaknya lengan kiriku. Pesan dari dokter adalah, jika infus dicopot, maka makanan dan minuman harus dihabiskan. Hehehe.. itu soal kecil, Dok! Serahkan saja pada ahlinya!

Setelah beberapa kali aku menandaskan makanan RS yang konon katanya tidak enak itu, kekuatanku pulih.

Senang hatiku pula saat Dokter Budiman mengunjungiku beliau mengatakan operasinya berjalan baik dan tidak ditemukan penyimpangan di indung telurku yang satunya. Puji Tuhan!.

Saat memeriksa luka operasiku, ternyata tidak menampakkan rembesan darah yang mengkuatirkan, bahkan sudah mulai mengering.

Keesokan harinya aku diijinkan pulang oleh dokter.

Seminggu kemudian…

Perban plastik steril itu dilepas dan dari kaca kecil yang kupegang, tampak olehku garis hitam tipis, sejengkal panjangnya melintang mengikuti lekuk perut bagian bawah. Wah, tanda luka yang cantik!

Dokter Budiman pun berseloroh bahwa luka ini tak akan tampak walaupun aku nanti berbikini. Wow, sekarang malah jadi kepikiran mau pakai bikini hehehe…

….

Seperti mimpi rasanya, dari mulai meringis kesakitan, terus diperiksa, terus opname, terus bermacam-macam test, terus puasa, terus dibius, terus operasi, terus bedrest, terus sadar dan harus belajar jalan kembali…semua terjadi hanya dalam 6 hari (mengalahkan rekor Pond’s lebih putih dalam 7 hari hehe).

Walaupun serasa mimpi, namun apa yang kujalani adalah nyata. Kenyataan yang menjadi wake-up call, untuk lebih serius memperhatikan kesehatan diri sendiri dan sadar akan apa yang kita lakukan terhadap tubuh kita. Niat dan tekad untuk hidup lebih sehat seimbang pun diikrarkan dalam hati dan berusaha diterapkan dalam hidup keseharian.

Rasa syukur yang aku daraskan sepertinya tak cukup setimpal atas semua berkat dan kebaikan Tuhan yang tercermin dari pertolongan dan bantuan dari dokter, perawat, petugas RS, saudara-saudaraku, teman-temanku, rekan sejawatku dan semua orang yang telah menyemangati dan menghibur aku selama sakit hingga bisa melewati semuanya. May God bless you all… XOXO

Ya Yesus, aku sungguh merasa beruntung!

Penghargaan dan ucapan terima kasihku untuk:

  • Dr. Bambang Handana
  • Dr. Budiman Japar SpOG
  • Dokter jantung, dokter paru, dokter anestesi, dokter USG, dokter UGD, dokter jaga, tim medical check-up dan laboratorium serta seluruh tim operasi.
  • Suster-suster Rawat Inap lt.3, dan petugas administrasi RS Medistra yang selalu ramah dan helpful.

Special hugs, kisses and thanks untuk :

David Ho, Vivi dan kakakku Aries yang setia mengantar, menemani dan menjengukku selama sakit.

Special thanks untuk :

Devi Listandary – agen asuransi Manulife yang sangat helpful sehingga dari sisi biaya aku sangat terbantukan oleh benefit asuransi.

Terima kasih atas bantuan tulus :

  • Mbak Ani, office assistant Yluva yang dengan telaten memasak iga rebus dan memberikannya kepada Thoven selama aku di RS, serta membersihkan kamarku.
  • Sheila, Davy, Nadia, Arlette dan Etha, rekan-rekan sejawatku di Yluva, terima kasih atas dedikasi dan kerjasama kalian yang solid di kantor.

Special thanks untuk:

Semua teman-temanku yang memberiku semangat, penghiburan dan doa, baik melalui Facebook, Twitter, BBM, YM, email serta kunjugan teman-teman yang sangat aku hargai.

Special thanks to JS for his surprise IDD call, I felt much much better after your magic phone call, hehe…

Dan kepada semuanya yang nama-namanya belum kusebut, namun begitu tulus telah berdoa bagi kesembuhanku. Terima kasih.

h1

Diiringi sorak-sorai dan bunyi sangkakala

May 13, 2010

“Hai orang-orang Glilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang diangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga” (Kis 1:11)

Hari ini saya ikut merayakan misa hari raya Kenaikan Tuhan. Siang ini rasanya malas sekali, apalagi hujan mengguyur bumi Jakarta dengan sangat lebatnya. Inginnya tidur saja di rumah, absen ke Gereja. Ya, sekali-sekali.

Tapi setelah waktu terlihat hampir pukul 5 sore, rasanya seperti ada yang mengundang untuk pergi dan datang ke misa. Serius nih?! Kamu tidak mau datang? Akhirnya, secepat-cepatnya aku berganti pakaian dan menelpon ojek langganan. Ya, aku datang, Tuhan.

Kalau diingat-ingat, misa Kenaikan Tuhan ini sangatlah unik, lagu-lagunya, bacaan liturginya, semua hanya terjadi satu kali dalam setahun! Betapa istimewanya misa hari ini. Dan lagu antar bacaan yang khas di misa Kenaikan Tuhan, hari ini aku dengarkan kembali…

“Allah telah naik diiringi sorak-sorai, Tuhan mengangkasa diiringi bunyi sangkakala…” Aku jadi teringat mendiang adikku berlatih menyanyikan lagu ini karena dia bertugas jadi solis bertahun-tahun yang lalu, sewaktu dia masih SD. Ah, adikku… aku jadi kangen sama kamu. Tentunya kamu sudah bahagia di Surga, dan mungkin saja di sana kamu sekarang benar-benar bernyanyi bagi Tuhan, karena dulu pun latihanmu di dunia ini sudah bagus..

Tuhan Yesus naik ke Surga, tentunya sebuah perpisahan yang menyedihkan, karena bagaimanapun berpisah adalah hal yang tidak mengenakkan. Namun, perpisahan ini meninggalkan harapan. Harapan untuk kembali bersatu denganNya. Amin.

h1

Berteman (kembali)

May 11, 2010

Ada kalanya kita harus dihadapkan dalam pilihan untuk tetap berteman atau tidak kenal lagi. Biasanya yang membantu memutuskan adalah emosi. Dulu, saya sempat meyakinkan diri saya dan orang lain bahwa saya TIDAK MUNGKIN berteman dengan mantan kekasih saya. Sekali mencintai, setelah gagal tidak bisa lagi berteman layaknya berteman biasa.

Tentu saja ini gara-gara sakit hati yang masih terbawa-bawa. Masih menempel segala kilas peristiwa yang menusuk perasaan. Dan itu bisa berlangsung bertahun-tahun. Jadi normal saja, jika saya berkeyakinan demikian.

Setelah 3 tahun tidak ada hubungan, ataupun saling tidak peduli apapun yang menimpanya (hmm.. walaupun sejujurnya sering memikirkan), akhirnya dorongan untuk menjalin hubungan kembali hadir dalam hati saya.

Aneh. Karena biasanya saya tidak bisa begitu. Sekali putus cinta, selamanya terluka. Sekali sakit hati, selamanya ada rasa benci. Kali ini saya benar-benar dibuat bingung.

Bingung. Ujung-ujungnya termenung. Termenung di Karmel. Terucap doa singkat di hadapan altar : Aku kangen, aku ingin berteman dengannya. Astaga. Tidak biasanya.

Dan atas dorongan seorang teman baik, aku mengiriminya sebuah email, dan ternyata berbalas. Ternyata balasannya meminta harga, harga diri saya untuk menerima kenyataan di hadapan. Dia tidak mungkin mencintai saya lebih dari sekedar teman.

Karena aku katolik, aku tahu tempat pengungsian hati. Tentu saja kepada Sang Raja seluruh Hati, Hati Kudus Yesus. Kupersembahkan hatiku yang rasanya akan selamanya mencintai dia. Ajaibnya, aku tak harus menyangkal hatiku, Dia telah menguatkanku. Aku pun menuruti apa yang dimintanya, berteman.

Sudah hampir sebulan kami berteman kembali. Pahit, getir, getar, binar, senyum, tawa, air mata bersamanya kembali hadir dalam hidupku. Ah, memang ternyata, aku juga manusia…

h1

Gluttony

March 10, 2010

Sejak hidup di Jakarta, punya uang lebih banyak dan punya kesempatan yang lebih besar untuk menikmati hidup, aku menjadi sedikit rakus. Ah well, sedikit atau sedikit lebih banyak?! 😀 Semoga ini bukan kamar pengakuan yang mengharuskan aku menjawab jujur.

Aku bisa makan apa saja yang aku suka, aku bisa membeli apa saja yang aku mau, just name it : fine dinning, junk food, kuliner Indonesia, exotic food, oriental sampai continental… kelas kaki lima hingga resto bintang lima, semua itu (bukan sulap, bukan sombong) aku bisa membelinya. Tetapi apa yang kudapatkan sekarang?

Perut Buncit. Badan Berat. Rasa yang tak sehat.

Makan itu penting, pun Yesus cukup banyak diceritakan berada dalam adegan makan dan pesta antar kerabat dan teman, well, baca saja Alkitab. Tapi memang tak seorangpun memberi kesaksian bahwa Yesus gila makan, seseorang yang mau berburu kuliner dan makan sekenyang-kenyangnya selagi ada, selagi bisa, selagi mungkin.

Pantas saja, Yesus tentunya tidak jatuh dalam dosa kerakusan seperti yang saya alami. Kerakusan atau kerasukan sih? he..he.. beda tipis memang. Bila berpikir kilas balik, maka beberapa tahun ini, semakin saya makmur, semakin saya makan dengan lapar mata, bukan lapar perut. Saya tidak mendengar badan saya sendiri yang sudah berteriak Cukup! Saya tetap makan, karena saya belum merasa puas, atau sayang kalau tidak menambah porsi, mumpung bisa!

Melihat foto saya jaman susah dulu, saat dimana saya harus disiplin memakai budget Rp 10.000,- jatah makan dalam sehari, maka saya menjadi malu. Malu bukan karena perut buncit saya, tetapi saya malu tidak bisa mengontrol diri, hanya karena saya diberi kelebihan rejeki.

Bukan begini cara saya mensyukuri rejeki yang datang lebih banyak, bukan dengan makan banyak saya mengekspresikan syukur terdalam. Saya lupa mendengarkan tubuh saya, saya tidak menghormati apa yang telah dipercayakan Tuhan pada saya, tubuh saya.

Mudah-mudahan belum terlambat Ya Tuhan… saya ingin kembali menjadi sadar makan. Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Makan yang menjadi bentuk rasa syukur, bukan untuk kenikmatan tak terukur.

Bantu saya kembali disiplin… kuatkan saya untuk kembali menikmati makanan yang menghormati badan, bukan mengumbar nafsu makan. Semoga Tuhan Yesus mendengar doa-doa enteng kacangan seperti ini ya.. dan tentu saja, mengabulkannya.

h1

Ask and you shall receive

March 8, 2010

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu (bdk Luk 11:9) adalah sabda sakti jaminan harapan setiap kali saya memikirkan apa yang perlu saya doakan hari ini. Karena aku Katolik, banyak sekali doa-doa yang aku harus hapalkan sedari kecil, mulai dari Kemuliaan, Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya hingga yang paket kombinasi seperti rosario dengan segala runutan peristiwa. Jujur saja, aku sempat berpikir, orang Katolik itu lucu, sudah ada sabda: mintalah, maka akan diberikan kepadamu… malah sukanya berbelit-belit berdoa yang panjang-panjang, baru diucapkan ujub-ujub doa.

Sama sekali nggak praktis 😀 tapi aku percaya, kalau langsung minta rasanya kok kurang sopan ya…

Mau tau, apa yang menjadi ujub doaku dari dulu?

Ujub doa waktu SD : supaya dapat nilai bagus, supaya tetap jadi ranking 1, supaya Ibu jangan kawin lagi (walau Bapak telah tiada), supaya tidak telat membayar SPP, supaya mendapat nilai NEM tertinggi.

Believe it or not…. all were granted!

Ujub doa waktu SMP : supaya Stefan Edberg mengalahkan Boris Becker, supaya surat-surat saya dibalas, supaya dapat nilai bagus, supaya tidak telat bayar SPP, supaya Ibu punya banyak uang, berdoa suatu saat saya bisa ke luar negeri melihat salju, berdoa agar tidak diejek karena tak punya uang.

What happened now and then : Stefan Edberg juara Wimbledon mengalahkan Boris Becker, surat saya banyak dibalas oleh kedutaan besar, saya akhirnya pergi ke luar negeri melihat salju… Ibu tetap tak punya uang, dan saya selalu merasa menjadi murid miskin terpinggirkan.

Ujub doa waktu SMA : berdoa supaya mendapat nilai bagus, berdoa agar tetap ranking 1, supaya masuk dalam saringan PMDK (Uni entry for bright students), supaya mendapat balasan dari Jason Donovan (Aussie singer popular in Brit Music), berdoa supaya selalu punya cukup uang, supaya lulus ujian dengan nilai bagus.

What happened now and then : yes, one of the bright students eligible for PMDK, but cannot go to University because no money 😦 no letters from Jason, not enough money for everything… until the moment I developed my career in Jakarta and now become quite successful for a kampung girl like me 😉

Melihat kilas balik sejarah, maka makin dewasa, makin sedikit doa-doa saya yang dikabulkan Tuhan.

Semakin dewasa, cara pandang saya akan doa permohonan juga sedikit bergeser. Hal yang terasa sangat berbeda saat saya sudah dewasa dibandingkan sewaktu kecil adalah : meminta dengan kemantapan iman.

Saat saya dewasa, meminta sesuatu seringkali tak bisa terkatakan begitu mantap, penuh iman. Bayangkan saja, meminta si A jadi suami saya, walaupun terang-terangan dia tak cocok dengan saya?! adalah satu contoh permohonan doa saya yang kontradiktif.

Memohon agar si B menjadi pasangan hidup saya, ataupun memohon agar si B hidup bahagia, adalah konflik batin saya selama bertahun-tahun.  Hati saya mengatakan, I love him, and I want him to be my soulmate! Tapi saya tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa hal yang paling baik adalah pray for him to be happy, even though you knew, that it meant you had to lose him. And I did had to say goodbye to my romantic dreams and hopes…

Memohon untuk bisa punya peluang untuk ekspresi talenta yang luas, maka ternyata jalan yang dipilih Tuhan adalah mempertemukan aku dengan bos yang tergantung denganku. Do things as I like, run the business if necessary! Berat rasanya, tapi bukankah itu yang kuminta? ekspresi talenta yang luas?!

Kini saatnya sudah mulai setengah baya, doa apakah yang akan kupanjatkan? Permohonan macam apa yang akan kunaikkan?!

Pujianku tak henti. Rasa syukurku tak putus, Tuhan. Tetapi, apa yang jadi permohonanku? Masih adakah keyakinan dalam doa seperti dulu?

Ya, masih ada. Api harapan tak akan padam, pun setelah api yang lainnya padam.

Permohonan hanya butuh kejujuran dan hati yang murni. Rasanya setelah melewati banyak hal, aku sungguh bisa melihat kesungguhan hati sang anak kecil yang penuh iman. Dan aku pun mulai meminta. 😀

h1

Tears of Love

March 7, 2010

Susah ya, mencintai seseorang yang kuanggap sempurna tapi dia tak sedikit pun mengindahkan saya. Sebagai seorang Katolik, tanda itu sudah cukup kuat untuk membuat saya mundur teratur.

Menyakitkan, karena sampai detik ini, setiap kali mendengar namanya, aku masih tersihir cinta seperti anak gadis 14 tahun yang jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Mencintai pria yang lain, pria yang menurutku penuh kekurangan sungguh membuat banyak perkara bagiku. Dia tidak sempurna, banyak sekali kekurangannya dan sering membuatku bersedih karena ketidak-pekaannya. Tetapi, dia selalu meyakinkanku jika dia mencintaiku.

Andai saja aku lebih beruntung…
Andai saja pria yang kukagumi itu memiliki perasaan yang sama terhadapku, sama seperti aku kepadanya.
Andai saja pria yang penuh kekurangan itu, yang mencintaiku sangat, mau dan terus berusaha untuk lebih bersungguh-sungguh membahagiakanku. Semoga dia memberikan ‘bukti’ cintanya, sehingga tak berakhir kosong, sama seperti pria yang kukagumi itu.

Setiap kali aku mengenangnya, aku ingin menitikkan air mata. Air mata cinta, air mata harapan, mengapa tak sedikitpun kau mengindahkanku..
Sayang sekali, karena engkau akan kehilangan aku…. gadis yang baik, yang tulus mencintaimu…

h1

Chivalrous man, is there one left (or even existed) for me?

February 10, 2010

Karena aku Katolik, sudah selayaknya aku berusaha memelihara harapan yang baik. Tapi mata manusia juga melihat kenyataan yang tidak sesuai harapan, degradasi kualitas pria. Sebagai wanita yang berusia 30 lebih dan masih single, pertemuan dengan pria sudah tak terhitung banyaknya. Begitu banyaknya namun mereka membentuk pola karakter yang hampir mirip : selfish caveman. Aku pun juga bukan wanita ladylike, karena jika bertindak demikian, aku akan lapar dan tak terurus, aku sudah terbiasa menjaga diri sendiri. Lantas, apakah menjadi wanita setangguh pria itu adalah sebuah pilihan bagiku? Sekali-kali TIDAK!

Sebagai wanita saya perlu pria. Tetapi, pria yang sampai sekarang saya temui (apalagi akhir-akhir ini) sangat mengecewakan. Bilang ‘I love you’ tapi giliran di follow up, malah bilang kalau yang dia maksud adalah ‘Cinta sebagai teman dan saudara’. Ha..ha..ha… Cintaku yang bersemi manis di kala Natal langsung terjun bebas, bunuh diri! Flop!

Sebagai wanita pun, saya mempunyai sisi emosional yang aktif. Itu saya akui, tetapi naluri wanita pula yang sering memperdamaikan emosi dengan logika. Bahkan sekarang ini, saya merasa jauh lebih logis daripada masa 20an saya. Tentu saja! 😛

Tetapi apa yang terjadi pada pria-pria? Terakhir apa yang terjadi pada pria yang aku kenal adalah : too emotional for a very wrong reason!

Suatu hal yang sangat sia-sia, dan akupun sering merasakannya…. menjadi terluka untuk alasan yang salah adalah sia-sia, oleh karena itu saya sudah belajar banyak untuk bangkit dari keterpurukan emosi. Tapi apa yang terjadi di depan mata saya sungguh hal yang lucu, satire sekaligus memprihatinkan. Wanita setahu saya memang banyak mengeluh, perasaanku tersakiti… namun apa yang dilakukannya? menekan luapan emosi yang tak perlu dan mencoba berpikir logis… Tetapi pria ini, menjadi emosional bahkan untuk alasan yang tidak nyata, dan SELURUH DUNIA seakan harus berhenti berputar memberi atensi padanya. Sekali lagi saya bilang MEMBERI ATENSI, bukan memberi inspirasi untuk bangkit, bukan memberi semangat untuk jalan terus…. NO!

Sang manusia gua itu telah bangkit! “I don’t care anything of what you say (and obviously your good intentions!) what I FEEL now is HURT (well, although for my own imaginative reason anyway that no longer existed)”. Tidak mau menerima apologies, tidak mau membahas apa yang terjadi, tidak mau menerima kata hiburan, tidak mau mendengar penjelasan, tidak mau disemangati dan tentu saja TIDAK APRESIATIF terhadap lawan bicara yang mencoba memberi masukan positif…. jadi maunya masuk gua gelap, tanpa oksigen dan tak peduli apa yang terjadi di luar sana.

Dimana pria-pria ksatria?

Dimana pria yang sportif menerima kritikan, berpikir logis TANPA kehilangan empati? Masih adakah pria yang benar-benar LISTENING others? Masih adakah pria yang dengan refleks menawarkan bantuan melihat orang lain dalam kesusahan? (teringat seorang pria yang hanya diam saja melihat orang lain kesusahan menarik panel kaca yang macet… what? it’s not my problem!)

Saya tiba-tiba menjadi sangat prihatin.

Saya teringat dan tampak jelas dalam pikiran saya sebuah pribadi yang sangat-sangat ksatria, KSATRIA SEJATI, namun Dia-pun juga tidak mendapat tempat di banyak hati orang : Jesus!

Tak hanya membantu orang, menyembuhkan orang sakit, tetapi juga rela berkorban bagi yang dicintainya. Dan dia telah disalib kurang lebih 1977 tahun yang lalu!

Masih adakah pria yang terinspirasi akan Ksatria sejati ini dan meneladani karakter pribadinya yang luar biasa?

Adakah aku hanya menebar harapan kosong belaka jika aku mendambakan pasangan hidup seorang pria berjiwa ksatria? Aku sih berharap tidak. Suatu saat nanti ya Tuhan…. suatu saat nanti, Kau kirimkan aku my knights-man in his shining armour, ready to take me riding the journey towards Thee, My Lord. Amen.

I know nobody is perfect, but certainly not a selfish caveman. Kami mohon…. kabulkanlah doa kami ya Tuhan.

 

 

h1

Love in the time of Christmas

December 27, 2009

love at christmas time

Natal kali ini terasa sungguh berbeda. Ya, karena pada masa Natal ini, setelah sekian lamanya… kurasa hatiku telah jatuh cinta. Ya benar, kukatakan sekali lagi… JATUH CINTA! Tapi memang bukan pada pandangan pertama. Dan pria itu tinggal jauh di seberang samudera, di belahan dunia lainnya. Lha kok bisa?!

Dulu setelah bubar membina hubungan dengan pria seberang laut yang lain, saya memang jadi lebih apatis. Memandang pria seperti saingan, tersenyum saat pria-pria membuat kesalahan. Saya sempat berpikir, kalau semua cowok kurang berkualitas begini, maka ‘apes’ benar nasibku menemui pria-pria ‘sisa’ yang model seperti ini.

Saya akui, saya hanya ‘bergaul’ dengan pria-pria di internet. Maafkan saya, tetapi ini hanya masalah preference saja. Di internet saya tidak merasa ‘diburu’ ataupun ‘memburu’ soulmate. Semuanya tergantung dari time frame saya. Bila saya sibuk, ya saya jarang membuka akses kontak jodoh itu, sebaliknya bila saya merasa perlu… saya akan buka akses itu kapan saja.

Dan diantara pria-pria yang mampir dalam chat box saya, ada satu pria Amerika yang terus terang menarik perhatian saya. Senyumnya boyish, dan tatapan matanya lembut. Aku tak kuasa untuk tidak membandingkan dengan senyum berkharisma dan mata tajam berwibawa yang dipunyai mantan kekasih hati saya. Ah, beda jenis! Begitu batinku menilai pada awalnya.

Selanjutnya dengan pria ini, aku mengalami saat-saat yang boleh dibilang penuh gejolak. Dia mendekatiku, aku menjaga jarak. Dia menjauh, aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Sampai suatu saat aku menekan tombol ‘Delete’ pada friend list saya. Terlalu capek mengurusi persoalan hidupnya, dan tentu saja aku bukan seorang pekerja sosial! Tetapi hey.. mengapa aku tak bisa untuk tak mengindahkannya? Mengapa begitu sulit hanya untuk melupakannya saja?

Tak kurang 3 kali saya putus nyambung untuk add dan delete dia dari friend list saya, dan tentu saja yang membuatku men-delete adalah  kesalahan maupun kekurangannya yang kuanggap bakal membuat hidupku susah.  Rupanya yang aku inginkan adalah seorang pria yang sempurna.  Namun, anehnya, tak bisa lama aku mendiamkannya, tak tahan aku untuk tidak memikirkannya. Dan selalu saja terbersit hati ini mengkuatirkan, apakah dia baik dan sehat keadaannya…. aahhhh kok bisa-bisanya?! dan setiap kali kami berkomunikasi kembali, harus aku akui (walaupun tidak suka) ada sukacita dan ketenangan di dalam hatiku, saat mendengar atau melihatnya baik-baik saja.

Beberapa kali terjadi, entah darimana datangnya, rasanya aku seperti sangat bersemangat mengetikkan kata-kata hiburan dan penguatan dan mengirimkannya melalui sms kepadanya. Dan ternyata dia memang sedang membutuhkan penghiburan dan penguatan. Dari mana saya tahu hal itu? Bukankah dia begitu jauh, dan dia tidak memberitahuku? Dari mana ide kata-kata penghiburan itu?

Dalam kontemplasi dan doa saya, saya sering menanyakan hal ini pada Tuhan. Oh, Tuhan mengapa kejadiannya seperti ini? Apa yang Engkau kehendaki agar aku lakukan? Bukankah aku sudah berdoa novena, agar dia menjadi pria yang penuh iman dan hikmat dalam hadiratMu? Bukankah aku sudah memohonkan rahmat bagi dia agar dia merasakan kembali cintaMu? Bahkan aku sudah memasukkan intensi ini untuk didoakan oleh saudari-saudariku para suster Karmelit di Gereja Karmel? Tidakkah usahaku sudah cukup? Mengapa aku harus terus terlibat untuk menyemangatinya? (Dalam hatiku, egoku menjerit… Oh Tuhan, dia begitu memprihatinkan… bagaimana bisa dia membahagiakanku?)

Beberapa minggu sebelum masa adven dimulai, dia menulis kepadaku akan harapan untuk perubahan. Ya, aku setuju dengannya, Adven adalah lambang pengharapan. Pengharapan akan campur tangan Tuhan dalam penyelematan manusia. Sebuah skenario besar yang disukseskan oleh kesediaan wanita muda yang sederhana “Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Dan masa adven pun dimulai, aku begitu sibuk dan larut dalam pekerjaanku. Tidur larut malam adalah agenda tetapku. Tapi aneh, suatu malam yang sudah sangat melelahkanku, aku malah (kembali) seperti ditiupi angin surga yang menyegarkanku dan memimpinku untuk menuliskan salam dan harapan baik baginya. Ya benar sekali, di sini waktu itu adalah dini hari, dan di sana adalah sore hari tepat saat dia pulang bekerja. Dan nyatanya, dia sedang berputus asa.

Dia bilang tidak ada gunanya Adven, karena buktinya masalah hidup tetap saja menderanya. Entah karena terlalu capek atau gregetan… akupun segera menukas “Sebaiknya kamu memikirkan kembali ucapanmu itu. Tidak taukah kamu, aku pun berpikir kalau tak ada gunanya untuk berbicara denganmu, karena kamu sudah menganggap Tuhan itu mati. Tapi apa yang aku lakukan sekarang? Berbicara padamu tentang cinta dan pengharapan akan Tuhan! Aku sendiri berpikir tak akan ada gunanya. Tetapi lihat, aku melakukannya juga, apakah ini ideku sendiri? Aku rasa bukan. Hanya kekuatan Tuhan yang bisa berbuat demikian, dan Dia sungguh mengasihimu. Tidakkah kamu merasakannya? Well, I do.”

Jawaban klasik darinya adalah “It’s hard, Ana.” Dan rasanya, kepalaku sudah berputar-putar mendengar jawaban itu. Entah darimana kata-kata bijak ini kudapatkan, tapi dalam chatbox kutuliskan kira-kira seperti ini : “Life isn’t about howmany mistakes you made, or howmuch miseries you get through in your life. Seriously, if I count them all in my life… I will be lost in calculation.  I made countless mistakes, yet God loves me still. And that is why I would live my life as a gift, something really precious. Because I want to love and serve my Lord. Every human being is precious, you too… are precious. I believe so and I hope you do. Have some faith.”

Ah, setelah itu aku menangis dan meratap “Oh Tuhan, tidakkah Engkau bisa langsung menyentuhnya saja dan menjadikannya sembuh? Dia tidak mendengarkanku. Dia menyakiti hatiMu dan hal itu membuatku bersedih. Aku berharap ada perubahan, tetapi hanya Engkau saja yang bisa. Sungguh. Ini kasus tingkat tinggi, Tuhan. Apalah dayaku?”

Sampai pada minggu ke-4 Adven, dalam suatu sesi chatting dengannya. Dia terdengar sedikit riang. Masih kurang percaya diri, tetapi aku tahu hatinya tidak sedang mendung. Dan tak butuh waktu lama sampai dia mengetikkan kata-kata itu. I LOVE YOU. Rasanya sang waktu seperti berhenti beberapa saat. Dan aku tahu dia tidak sedang bercanda.

Panik, aku pun tak tahu apa yang harus kuketikkan sebagai jawaban. Beruntunglah dia pun cepat-cepat meminta diri untuk undur dari chatbox. Pfyuuhh… rasanya lega masih memiliki waktu bagi jantungku untuk kembali memompa darah ke segala penjuru nadiku. Aku pun merenungkan hal ini. Oh, Tuhan… apa lagi ini? Apa yang harus kulakukan?

Natal pun hampir tiba. Aku merasa berkewajiban untuk mengirimkan kartu-kartu Natal yang cantik bagi keponakanku, tentu saja demi memori indah kanak-kanak mereka. Pada rak kartu Natal, tak kuasa aku menahan diri untuk tidak melongok bagian kartu Natal dewasa. Dan bagaikan gadis belasan tahun aku tersenyum membayangkan kata-kata dalam sebuah surat cinta. Astaga! Apa lagi ini? Akupun berjanji dalam hati, akan menuliskan kata-kata yang dewasa, tidak misleading dan bertanggung jawab pada kartu yang bertuliskan ‘For the man I love at Christmas’.

Malam itu juga, ternyata… kurangkai gelang kristal beads, kristal berbentuk hati dan salib kecil membentuk ornamen yang bisa aku sebut ‘Sun Catcher’ yang ingin kuberikan padanya sebagai pengingat, sinar matahari yang biasa kita lihat dan rasakan (terlalu biasa malah hingga kita tak mengindahkannya), ternyata memiliki lapisan warna yang sungguh cantik dan menggugah hati. Kuibaratkan matahari sebagai hidup itu sendiri, kutuliskan disitu bahwa seperti matahari, setiap hari pun kita selalu disinari energi hidup yang sering tidak kita sadari, yaitu iman, pengharapan dan kasih dari Tuhan. Maka sun catcher ini kuharapkan akan selalu mengingatkannya untuk selalu penuh energi, bersemangat dan bersyukur dalam menjalani hidup.

Setelah mengeposkannya keesokan harinya… hatiku tak kunjung bisa diam. Ada yang berseru-seru dan ingin dikonfirmasi dalam hatiku…. so, apakah hal ini berarti aku mencintainya juga?

Ragu-ragu adalah hal yang biasa aku rasakan. Mungkin terlalu biasa sehingga bila tidak ragu-ragu, malah kuanggap diriku sudah tak waras lagi. Ya, aku tahu, aku tertarik padanya. Aku tahu, dia selalu ada dalam hatiku. Tetapi mencintainya? Apakah ada baiknya bagi hidupku?

Hari Natal pun tibalah. Suasana di dalam Gereja yang pengap, lembab dan panas pun seakan menyeretku dalam keadaan teduh yang tidak biasa. Telingaku masih mendengar pastor berkhotbah, namun entah apa yang dikhotbahkan malam itu…. aku seperti tertarik dalam permenungan tentang gadis Maria dan “terjadilah padaku”-nya yang telah dibacakan pada minggu Adven ke-3 (kalau tidak salah). Ada pengertian yang mengalir dalam diriku… apakah yang membuat gadis muda Maria bisa menjawab kata-kata itu? Apa yang ada dalam pikirannya saat itu?

Apakah Maria memikirkan seperti apa yang kupikirkan? “Adakah hal ini berdampak baik bagi hidupku? ataukah berdampak buruk?”

Apakah Maria tahu, apa yang akan terjadi 10 tahun lagi setelah dia menjawab hal itu? 20 tahun lagi? Adakah dia tahu bahwa anak kesayangannya bakalan disalib sampai mati di usia yang muda? Apakah semua itu terpikirkan oleh Maria sebelum menjawab “Terjadilah padaku”?

Jawabannya adalah ‘tidak’. Maria tidak tahu. Sepanjang hidupnya pun Maria sering kebingungan akan apa yang Allah kehendaki dalam hidupnya dan Alkitab menuliskan, Maria menyimpan segala sesuatu dalam hatinya dan merenungkannya.

Kesediaan Maria yang berdasarkan iman, itulah yang membuat skenario penyelematan manusia berhasil baik. Kesediaan Maria yang berdasarkan iman itulah yang membuatku sekarang ini, bisa mengenal Yesus. Hanya dari sebuah pemikiran yang sederhana : bersedia melangkah maju dalam iman.

Terus saja pengertian ini menggema dalam hatiku, dan aku pun berdoa malam itu, bila Engkau berkenan ya Tuhanku… akan kujalani juga. Amin.

Dini hari Natal, 25 Desember 2009… saat dia berada di Gereja (dan tidak di depan komputer)… aku kumpulkan seluruh elemen hidupku dan kuketikkan kata-kata itu…

I LOVE YOU TOO.

Dan seperti gadis kampung yang baru saja mengenal ketertarikan pada lawan jenis, aku merasa malu-malu kucing (bukan garong). Kulempar Blackberry-ku di bawah bantal dan berharap mendapatkan balasan yang tidak memalukanku. Aku pun tertidur….

Akhirnya terdengar bunyi jangkrik lemah di bawah bantalku. Dan jawabannya pun menenangkan hatiku ‘Thanks so much for your message. Have a blessed Holy Day. God Bless You’ jawaban yang biasa saja, tetapi membuat hatiku berbunga-bunga. Sama halnya dengan yang di seberang sana.

Itulah yang ingin kubagikan, pengalaman hidup yang kurasa sangat indah. Menyatakan kesediaanku dalam iman di hari yang sungguh istimewa.

Aku mencintaiMu ya Tuhanku, dan aku…. mencintaimu kekasih hatiku. 🙂

Jakarta, 28 Desember 2009

 

Update :

Awal Januari 2010, Paul mengirimkan pesan melalui YM bahwa dia tidak bisa memberikan CINTA buat saya. Bahwa dia ingin mencintai saya tetapi TIDAK BISA, dan dia berdoa semoga saya mendapatkan pria yang lebih baik darinya. Saya sungguh terluka, justru saat saya siap dengan segala resiko untuk menerima cintanya dan mencintainya dengan seluruh hati, dia menarik seluruh ucapannya.  Seperti biasa, tangisan saya tak bersuara.. lirih bahkan tak terdengar oleh malam. Saya pasrah namun tak menyerah, saya masih punya hidup saya. Dan itu lebih dari cukup untuk saya syukuri.

h1

Hidup dan makan

October 23, 2009

Entah kenapa, pagi ini saya membandingkan hidup dengan masakan acar kuning tenggiri. Hidup itu ada elemen manisnya, tentu saja. Saat-saat manis dalam hidup banyak terpancar dari memori masa kanak-kanak, beranjak remaja mulai menikmati asin manis yang hmm.. sedikit memberi sensasi. Yup… sedikit pengalaman asam akan memberi rasa lebih segar. Beranjak dewasa lagi, mulai berhadapan dengan hal-hal yang pedas, terlalu pedas malah, kadang sampai terasa pahit. Ada juga rasa unik yang tak dapat dikategorikan, rasa gurih daging dan ikan, dan rasa khas seperti rasa pete dan jengkol he..he… (maksa ya… acar tenggiri pakai jengkol?!)
Semua rasa bercampur, berulang, silih berganti nyata dalam hidup, membuat hidup terasa sangat nikmat.
Ya Tuhan Yesus, Engkau pernah bersabda “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.” Bdk-Yoh 6:55, tentu saja bukan tak ada alasan. Makan adalah hal yang sangat penting, hakiki dan primer. Dengan makan, manusia hidup, dan dengan Yesus manusia beroleh hidup abadi, hidup yang sejati.
Menikmati makanan berarti menikmati hidup, dan menikmati hidup dalam kasih Allah adalah kepenuhan sejati.

Aku makan setiap hari, nikmat. Aku menyambut ekaristi setiap Minggu, sangat-sangat nikmat.

Bolehkan aku bersyukur sekali lagi ya Yesusku… Terima kasih atas makanan. Terima kasih atas hidup. Terima kasih atas rohMu yang menghidupkan.