Posts Tagged ‘vocation’

h1

Love in the time of Christmas

December 27, 2009

love at christmas time

Natal kali ini terasa sungguh berbeda. Ya, karena pada masa Natal ini, setelah sekian lamanya… kurasa hatiku telah jatuh cinta. Ya benar, kukatakan sekali lagi… JATUH CINTA! Tapi memang bukan pada pandangan pertama. Dan pria itu tinggal jauh di seberang samudera, di belahan dunia lainnya. Lha kok bisa?!

Dulu setelah bubar membina hubungan dengan pria seberang laut yang lain, saya memang jadi lebih apatis. Memandang pria seperti saingan, tersenyum saat pria-pria membuat kesalahan. Saya sempat berpikir, kalau semua cowok kurang berkualitas begini, maka ‘apes’ benar nasibku menemui pria-pria ‘sisa’ yang model seperti ini.

Saya akui, saya hanya ‘bergaul’ dengan pria-pria di internet. Maafkan saya, tetapi ini hanya masalah preference saja. Di internet saya tidak merasa ‘diburu’ ataupun ‘memburu’ soulmate. Semuanya tergantung dari time frame saya. Bila saya sibuk, ya saya jarang membuka akses kontak jodoh itu, sebaliknya bila saya merasa perlu… saya akan buka akses itu kapan saja.

Dan diantara pria-pria yang mampir dalam chat box saya, ada satu pria Amerika yang terus terang menarik perhatian saya. Senyumnya boyish, dan tatapan matanya lembut. Aku tak kuasa untuk tidak membandingkan dengan senyum berkharisma dan mata tajam berwibawa yang dipunyai mantan kekasih hati saya. Ah, beda jenis! Begitu batinku menilai pada awalnya.

Selanjutnya dengan pria ini, aku mengalami saat-saat yang boleh dibilang penuh gejolak. Dia mendekatiku, aku menjaga jarak. Dia menjauh, aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Sampai suatu saat aku menekan tombol ‘Delete’ pada friend list saya. Terlalu capek mengurusi persoalan hidupnya, dan tentu saja aku bukan seorang pekerja sosial! Tetapi hey.. mengapa aku tak bisa untuk tak mengindahkannya? Mengapa begitu sulit hanya untuk melupakannya saja?

Tak kurang 3 kali saya putus nyambung untuk add dan delete dia dari friend list saya, dan tentu saja yang membuatku men-delete adalah  kesalahan maupun kekurangannya yang kuanggap bakal membuat hidupku susah.  Rupanya yang aku inginkan adalah seorang pria yang sempurna.  Namun, anehnya, tak bisa lama aku mendiamkannya, tak tahan aku untuk tidak memikirkannya. Dan selalu saja terbersit hati ini mengkuatirkan, apakah dia baik dan sehat keadaannya…. aahhhh kok bisa-bisanya?! dan setiap kali kami berkomunikasi kembali, harus aku akui (walaupun tidak suka) ada sukacita dan ketenangan di dalam hatiku, saat mendengar atau melihatnya baik-baik saja.

Beberapa kali terjadi, entah darimana datangnya, rasanya aku seperti sangat bersemangat mengetikkan kata-kata hiburan dan penguatan dan mengirimkannya melalui sms kepadanya. Dan ternyata dia memang sedang membutuhkan penghiburan dan penguatan. Dari mana saya tahu hal itu? Bukankah dia begitu jauh, dan dia tidak memberitahuku? Dari mana ide kata-kata penghiburan itu?

Dalam kontemplasi dan doa saya, saya sering menanyakan hal ini pada Tuhan. Oh, Tuhan mengapa kejadiannya seperti ini? Apa yang Engkau kehendaki agar aku lakukan? Bukankah aku sudah berdoa novena, agar dia menjadi pria yang penuh iman dan hikmat dalam hadiratMu? Bukankah aku sudah memohonkan rahmat bagi dia agar dia merasakan kembali cintaMu? Bahkan aku sudah memasukkan intensi ini untuk didoakan oleh saudari-saudariku para suster Karmelit di Gereja Karmel? Tidakkah usahaku sudah cukup? Mengapa aku harus terus terlibat untuk menyemangatinya? (Dalam hatiku, egoku menjerit… Oh Tuhan, dia begitu memprihatinkan… bagaimana bisa dia membahagiakanku?)

Beberapa minggu sebelum masa adven dimulai, dia menulis kepadaku akan harapan untuk perubahan. Ya, aku setuju dengannya, Adven adalah lambang pengharapan. Pengharapan akan campur tangan Tuhan dalam penyelematan manusia. Sebuah skenario besar yang disukseskan oleh kesediaan wanita muda yang sederhana “Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Dan masa adven pun dimulai, aku begitu sibuk dan larut dalam pekerjaanku. Tidur larut malam adalah agenda tetapku. Tapi aneh, suatu malam yang sudah sangat melelahkanku, aku malah (kembali) seperti ditiupi angin surga yang menyegarkanku dan memimpinku untuk menuliskan salam dan harapan baik baginya. Ya benar sekali, di sini waktu itu adalah dini hari, dan di sana adalah sore hari tepat saat dia pulang bekerja. Dan nyatanya, dia sedang berputus asa.

Dia bilang tidak ada gunanya Adven, karena buktinya masalah hidup tetap saja menderanya. Entah karena terlalu capek atau gregetan… akupun segera menukas “Sebaiknya kamu memikirkan kembali ucapanmu itu. Tidak taukah kamu, aku pun berpikir kalau tak ada gunanya untuk berbicara denganmu, karena kamu sudah menganggap Tuhan itu mati. Tapi apa yang aku lakukan sekarang? Berbicara padamu tentang cinta dan pengharapan akan Tuhan! Aku sendiri berpikir tak akan ada gunanya. Tetapi lihat, aku melakukannya juga, apakah ini ideku sendiri? Aku rasa bukan. Hanya kekuatan Tuhan yang bisa berbuat demikian, dan Dia sungguh mengasihimu. Tidakkah kamu merasakannya? Well, I do.”

Jawaban klasik darinya adalah “It’s hard, Ana.” Dan rasanya, kepalaku sudah berputar-putar mendengar jawaban itu. Entah darimana kata-kata bijak ini kudapatkan, tapi dalam chatbox kutuliskan kira-kira seperti ini : “Life isn’t about howmany mistakes you made, or howmuch miseries you get through in your life. Seriously, if I count them all in my life… I will be lost in calculation.  I made countless mistakes, yet God loves me still. And that is why I would live my life as a gift, something really precious. Because I want to love and serve my Lord. Every human being is precious, you too… are precious. I believe so and I hope you do. Have some faith.”

Ah, setelah itu aku menangis dan meratap “Oh Tuhan, tidakkah Engkau bisa langsung menyentuhnya saja dan menjadikannya sembuh? Dia tidak mendengarkanku. Dia menyakiti hatiMu dan hal itu membuatku bersedih. Aku berharap ada perubahan, tetapi hanya Engkau saja yang bisa. Sungguh. Ini kasus tingkat tinggi, Tuhan. Apalah dayaku?”

Sampai pada minggu ke-4 Adven, dalam suatu sesi chatting dengannya. Dia terdengar sedikit riang. Masih kurang percaya diri, tetapi aku tahu hatinya tidak sedang mendung. Dan tak butuh waktu lama sampai dia mengetikkan kata-kata itu. I LOVE YOU. Rasanya sang waktu seperti berhenti beberapa saat. Dan aku tahu dia tidak sedang bercanda.

Panik, aku pun tak tahu apa yang harus kuketikkan sebagai jawaban. Beruntunglah dia pun cepat-cepat meminta diri untuk undur dari chatbox. Pfyuuhh… rasanya lega masih memiliki waktu bagi jantungku untuk kembali memompa darah ke segala penjuru nadiku. Aku pun merenungkan hal ini. Oh, Tuhan… apa lagi ini? Apa yang harus kulakukan?

Natal pun hampir tiba. Aku merasa berkewajiban untuk mengirimkan kartu-kartu Natal yang cantik bagi keponakanku, tentu saja demi memori indah kanak-kanak mereka. Pada rak kartu Natal, tak kuasa aku menahan diri untuk tidak melongok bagian kartu Natal dewasa. Dan bagaikan gadis belasan tahun aku tersenyum membayangkan kata-kata dalam sebuah surat cinta. Astaga! Apa lagi ini? Akupun berjanji dalam hati, akan menuliskan kata-kata yang dewasa, tidak misleading dan bertanggung jawab pada kartu yang bertuliskan ‘For the man I love at Christmas’.

Malam itu juga, ternyata… kurangkai gelang kristal beads, kristal berbentuk hati dan salib kecil membentuk ornamen yang bisa aku sebut ‘Sun Catcher’ yang ingin kuberikan padanya sebagai pengingat, sinar matahari yang biasa kita lihat dan rasakan (terlalu biasa malah hingga kita tak mengindahkannya), ternyata memiliki lapisan warna yang sungguh cantik dan menggugah hati. Kuibaratkan matahari sebagai hidup itu sendiri, kutuliskan disitu bahwa seperti matahari, setiap hari pun kita selalu disinari energi hidup yang sering tidak kita sadari, yaitu iman, pengharapan dan kasih dari Tuhan. Maka sun catcher ini kuharapkan akan selalu mengingatkannya untuk selalu penuh energi, bersemangat dan bersyukur dalam menjalani hidup.

Setelah mengeposkannya keesokan harinya… hatiku tak kunjung bisa diam. Ada yang berseru-seru dan ingin dikonfirmasi dalam hatiku…. so, apakah hal ini berarti aku mencintainya juga?

Ragu-ragu adalah hal yang biasa aku rasakan. Mungkin terlalu biasa sehingga bila tidak ragu-ragu, malah kuanggap diriku sudah tak waras lagi. Ya, aku tahu, aku tertarik padanya. Aku tahu, dia selalu ada dalam hatiku. Tetapi mencintainya? Apakah ada baiknya bagi hidupku?

Hari Natal pun tibalah. Suasana di dalam Gereja yang pengap, lembab dan panas pun seakan menyeretku dalam keadaan teduh yang tidak biasa. Telingaku masih mendengar pastor berkhotbah, namun entah apa yang dikhotbahkan malam itu…. aku seperti tertarik dalam permenungan tentang gadis Maria dan “terjadilah padaku”-nya yang telah dibacakan pada minggu Adven ke-3 (kalau tidak salah). Ada pengertian yang mengalir dalam diriku… apakah yang membuat gadis muda Maria bisa menjawab kata-kata itu? Apa yang ada dalam pikirannya saat itu?

Apakah Maria memikirkan seperti apa yang kupikirkan? “Adakah hal ini berdampak baik bagi hidupku? ataukah berdampak buruk?”

Apakah Maria tahu, apa yang akan terjadi 10 tahun lagi setelah dia menjawab hal itu? 20 tahun lagi? Adakah dia tahu bahwa anak kesayangannya bakalan disalib sampai mati di usia yang muda? Apakah semua itu terpikirkan oleh Maria sebelum menjawab “Terjadilah padaku”?

Jawabannya adalah ‘tidak’. Maria tidak tahu. Sepanjang hidupnya pun Maria sering kebingungan akan apa yang Allah kehendaki dalam hidupnya dan Alkitab menuliskan, Maria menyimpan segala sesuatu dalam hatinya dan merenungkannya.

Kesediaan Maria yang berdasarkan iman, itulah yang membuat skenario penyelematan manusia berhasil baik. Kesediaan Maria yang berdasarkan iman itulah yang membuatku sekarang ini, bisa mengenal Yesus. Hanya dari sebuah pemikiran yang sederhana : bersedia melangkah maju dalam iman.

Terus saja pengertian ini menggema dalam hatiku, dan aku pun berdoa malam itu, bila Engkau berkenan ya Tuhanku… akan kujalani juga. Amin.

Dini hari Natal, 25 Desember 2009… saat dia berada di Gereja (dan tidak di depan komputer)… aku kumpulkan seluruh elemen hidupku dan kuketikkan kata-kata itu…

I LOVE YOU TOO.

Dan seperti gadis kampung yang baru saja mengenal ketertarikan pada lawan jenis, aku merasa malu-malu kucing (bukan garong). Kulempar Blackberry-ku di bawah bantal dan berharap mendapatkan balasan yang tidak memalukanku. Aku pun tertidur….

Akhirnya terdengar bunyi jangkrik lemah di bawah bantalku. Dan jawabannya pun menenangkan hatiku ‘Thanks so much for your message. Have a blessed Holy Day. God Bless You’ jawaban yang biasa saja, tetapi membuat hatiku berbunga-bunga. Sama halnya dengan yang di seberang sana.

Itulah yang ingin kubagikan, pengalaman hidup yang kurasa sangat indah. Menyatakan kesediaanku dalam iman di hari yang sungguh istimewa.

Aku mencintaiMu ya Tuhanku, dan aku…. mencintaimu kekasih hatiku. 🙂

Jakarta, 28 Desember 2009

 

Update :

Awal Januari 2010, Paul mengirimkan pesan melalui YM bahwa dia tidak bisa memberikan CINTA buat saya. Bahwa dia ingin mencintai saya tetapi TIDAK BISA, dan dia berdoa semoga saya mendapatkan pria yang lebih baik darinya. Saya sungguh terluka, justru saat saya siap dengan segala resiko untuk menerima cintanya dan mencintainya dengan seluruh hati, dia menarik seluruh ucapannya.  Seperti biasa, tangisan saya tak bersuara.. lirih bahkan tak terdengar oleh malam. Saya pasrah namun tak menyerah, saya masih punya hidup saya. Dan itu lebih dari cukup untuk saya syukuri.